Semua hal ada dalam sepak bola
Terompet memekakkan, kembang api yang ditembakkan,
api suar yang dilambai-lambaikan dari atas pagar pembatas oleh lelaki kurus tak berbaju itu
adalah perayaan kegembiraan.
Bendera raksasa yang berkibar-kibar itu
adalah psikologi.
Mars penyemangat yang gegap gempita
adalah seni.
Orang-orang yang duduk di podium kehormatan
di tempat paling nyaman menonton bola,
adalah politik.
Orang-orang berdasi yang sibuk dengan telepon genggamnya
di belakang jajaran politisi itu,
adalah bisnis.
Lelaki kurus tadi,
yang sehari-hari berdagang asong di gerbong kereta listrik Bogor-Jakarta,
menabung lama demi membeli tiket menonton PSSI
lalu berteriak mendukung PSSI sampai habis suaranya,
hingga peluit panjang dibunyikan,
adalah keikhlasan.
Para pemain menunduk untuk berdoa,
adalah agama.
Penjaga gawang memeluk tiang gawang sebelum bertanding,
adalah budaya.
Ratusan moncong kamera yang membidik lapangan,
adalah sejarah.
Ayah yang membawa anak-anaknya untuk menonton bola,
adalah cinta.
Bocah-bocah murid SD Inpres di pinggiran Bekasi,
yang patungan untuk menyewa angkot,
berdesak-desakan di dalam mobil omprengan demi mendukung PSSI,
adalah patriotisme.
Catatan skor pada papan elektronik raksasa,
yang ditatap dengan perasaan senang yang meluap-luap
atau kecemasan yang tak terperikan
adalah sastra yang tak ada bandingnya.
-Andrea Hirata, Sebelas Patriot